Ketika Imam Syafi’i  Diskusi Soal Zakat dengan Syaiban Ar Rifa’i

WARTAGEMA.COM – Di balik keagungan nama Imam Syafi’i, seorang ulama besar yang karyanya menjadi pegangan umat Islam hingga kini, ada kisah tentang kebersahajaan dan penghormatan kepada ilmu, meski datang dari tempat yang tak terduga. Di hadapannya, duduk seorang lelaki yang berpenampilan biasa saja, mengenakan pakaian lusuh dengan aroma khas padang rumput. Ia adalah Syaiban ar-Ra’i, seorang penggembala kambing yang hidup di desa kecil.

Suatu hari, Imam Syafi’i yang dikenal sebagai ahli hukum Islam mendatangi Syaiban untuk berdiskusi soal zakat. Dengan penuh rasa ingin tahu, Imam Syafi’i bertanya, “Menurutmu, siapa yang wajib berzakat?”

Syaiban, dengan senyuman lembut yang mencerminkan kebijaksanaan, balik bertanya, “Menurut Anda sendiri, bagaimana?”

Namun Imam Syafi’i, dengan kerendahan hati, menegaskan, “Aku di sini untuk mendengar pendapatmu.”

Syaiban pun menjawab, “Zakat itu wajib bagi orang kaya, dan juga orang miskin.”

Jawaban itu membuat Imam Syafi’i terkejut. “Kenapa orang miskin wajib berzakat? Mereka kan tidak punya banyak harta?” tanyanya.

Dengan tenang, Syaiban menjelaskan, “Rezeki orang miskin pun bisa saja tercampur hak orang lain. Zakat bukan hanya soal harta yang banyak, tetapi tentang menyucikan apa yang kita miliki, sekecil apa pun itu. Bahkan di kampung kami, sering kali tanah yang digunakan untuk acara pengajian tidak jelas pemiliknya. Tapi siapa pun yang pertama kali memasang tali parkir, dia yang mendapatkan uang parkir. Itu juga rezeki yang harus disucikan.”

Imam Syafi’i terdiam sejenak, lalu tertawa kecil, bukan karena meremehkan, tetapi karena kagum dengan kedalaman berpikir seorang penggembala kambing.

Wali Tersembunyi

Syaiban ar-Ra’i bukanlah sosok biasa. Dalam Kitab Hilyatul Auliya’, disebutkan bahwa jika ia sedang junub di tengah padang dan tak ada air, ia cukup berdoa kepada Allah, lalu awan hitam muncul dan menurunkan hujan untuknya. Jika ia harus meninggalkan kambing-kambingnya untuk shalat Jumat, ia cukup membuat lingkaran garis di tanah, dan semua kambingnya tetap aman di dalam lingkaran tersebut.

Namun, keajaiban ini tidak membuatnya merasa istimewa. Ia tetap menggembala kambing, hidup sederhana, dan menghindari perhatian berlebih. Ketika Imam Sufyan ats-Tsauri bertemu dengannya di perjalanan haji, Syaiban bahkan menjinakkan binatang buas yang menghadang mereka, menunjukkan kedekatannya dengan Sang Pencipta.

Imam Syafi’i kerap menghabiskan waktu berdiskusi dengan Syaiban, bahkan duduk seperti murid di hadapannya. Ketika seorang murid bertanya, “Bagaimana mungkin seorang ulama besar seperti Anda meminta pendapat dari seorang penggembala kambing?” Imam Syafi’i menjawab, “Ia adalah seseorang yang hidupnya selaras dengan ilmu yang kita pelajari.”

Jawaban ini mencerminkan kebesaran hati Imam Syafi’i. Bagi beliau, kebijaksanaan tidak selalu lahir dari ruang belajar atau kitab-kitab tebal, tetapi juga dari kesederhanaan hidup dan kedekatan dengan Allah.

Dua Ulama Berbeda Dunia

Kisah Imam Syafi’i dan Syaiban ar-Ra’i mengajarkan kita untuk menghargai ilmu, di mana pun kita menemukannya. Tidak ada perbedaan antara ulama kota yang masyhur dengan ulama kampung yang tersembunyi jika keduanya berbicara atas dasar kebenaran.

Syaiban adalah pengingat bahwa keikhlasan, ketawadhuan, dan kedekatan dengan Allah bisa membuat seseorang yang terlihat biasa menjadi luar biasa. Sementara Imam Syafi’i mengajarkan kita bahwa kerendahan hati adalah jalan untuk meraih kebijaksanaan yang lebih tinggi.

Dalam hidup, seperti yang ditunjukkan oleh dua sosok ini, ilmu dan kebijaksanaan tidak selalu datang dari tempat yang kita duga. Kadang, ia hadir dari tempat-tempat yang sederhana, bahkan dari hati seorang penggembala kambing yang zuhud.

Doa yang sering dibaca Imam Syaiban ar-Rā’i:

يَا وَدُودُ يَا وَدُودُ، يَا ذَا الْعَرْشِ الْمَجِيدِ، يَا مُبْدِئُ يَا مُعِيدُ، يَا فَعَّالًا لِمَا يُرِيدُ، أَسْأَلُكَ بِعِزِّكَ الَّذِي لَا يُرَامُ، وَبِمُلْكِكَ الَّذِي لَا يَزُولُ، وَبِنُورِ وَجْهِكَ الَّذِي مَلَأَ أَرْكَانَ عَرْشِكَ، وَبِقُدْرَتِكَ الَّتِي قَدَرْتَ بِهَا عَلَى جَمِيعِ خَلْقِكَ، أَنْ تَكْفِيَنِي شَرَّ الظَّالِمِينَ أَجْمَعِينَ.

“Wahai Yang Maha Pengasih, Wahai Yang Maha Pengasih, Wahai Pemilik Arsy yang agung, Wahai Yang Memulai (penciptaan) dan Yang Mengulanginya, Wahai Yang Maha Melakukan apa yang Dia kehendaki, aku memohon kepada-Mu dengan keperkasaan-Mu yang tidak tertandingi, dengan kerajaan-Mu yang tidak pernah lenyap, dengan cahaya wajah-Mu yang memenuhi seluruh penjuru Arsy-Mu, dan dengan kekuasaan-Mu yang dengan itu Engkau berkuasa atas seluruh makhluk-Mu, agar Engkau mencukupiku dari kejahatan semua orang yang zalim.” []

 

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *