Oleh. Chek Saramaba
Kita tidak lagi terkejut mendengar kabar tentang anak muda yang diperdagangkan lintas negara, atau perempuan yang dijual di kota yang katanya suci itu. Paling-paling, kita hanya menghela napas, menggulir layar handphone, dan berpikir, “Ah, begitulah dunia.” Seolah tragedi manusia hanya notifikasi lain yang datang dan pergi, dan kita pun lupa bahwa ini adalah masalah kita semua.
Di negeri yang katanya diberkahi syariat, diselimuti doa-doa aulia, dan dibangun dengan megahnya masjid-masjid sebagai simbol kesucian, nurani pelan-pelan mengepakkan sayapnya dan pergi. Ia meninggalkan tubuh-tubuh yang hanya tersisa nama dan luka-luka yang tak sempat terobati. Masjid-masjid yang dulunya dipenuhi lantunan doa, kini hanya menjadi monumen megah tanpa ruh, seolah mengingatkan kita betapa jauh perjalanan nurani dari tempat-tempat suci yang kita bangun.
Lihatlah MR, seorang pemuda dari Padang Tiji, Pidie. Berangkat dengan harapan, pulang membawa trauma. Dijanjikan pekerjaan di luar negeri, malah dijadikan alat penipuan oleh sindikat internasional. Dipukuli, disetrum, dijual seperti barang bekas. Tiga kali berpindah tangan, tiga kali pula hatinya diremukkan. Dan kita, para akademisi, berdiskusi tentang teori-teori tinggi di kampus, sambil lupa bahwa di luar sana, darah dan air mata manusia mengalir lebih real daripada teks-teks yang kita hafalkan.
Lihat juga Bunga, gadis muda dari Banda Aceh yang tertangkap dalam sebuah razia syariat. Bunga bukan satu-satunya. Masih banyak Bunga lain yang layu sebelum sempat mekar. Tapi dunia terlalu sibuk menilai tubuh mereka, tanpa bertanya kenapa mereka memilih jalan itu. Ah, mungkin kita para agamawan, tengku, guru dan para kyai lebih suka mengkaji ayat-ayat panjang di atas mimbar, daripada turun ke jalan dan mengakui bahwa kita juga punya andil dalam menumbuhkan dan memperbaiki sistem yang menghancurkan.
Dan ada AM, pelajar 16 tahun yang ditemukan membusuk di belakang dayah. Dibunuh oleh temannya sendiri demi uang Rp300 ribu. Bukan karena kebencian, tapi karena keputusasaan. Kita sering sekali mengedepankan hafalan Al-Qur’an di dayah-dayah, mengajarkan anak-anak kita soal surga dan neraka, tapi lupa bahwa kehidupan mereka di dunia ini sudah cukup neraka tanpa harus menunggu mati.
Tapi di negeri ini, kita lebih suka menonton jumlah shalat berjamaah di masjid yang megah, dibandingkan melihat bagaimana para jamaah itu hidup. Masjid yang besar, dengan menara tinggi yang menjulang, tapi tidak pernah mengingatkan kita untuk mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan. Masjid dengan pilar-pilar megah, tetapi dengan nurani yang telah merantau entah ke mana. Di dalamnya, kita hanya mendengar gema suara khatib yang berbicara tentang amal, tapi tidak pernah bertanya kenapa banyak di antara kita yang memilih untuk diam saat melihat ketidakadilan.
Kita hidup dalam dunia yang kian bisu terhadap jerit manusia, sementara para sastrawan di negeri ini sibuk menulis puisi tentang langit biru yang tak pernah sampai ke bumi. Kita, para cendekiawan, berdebat tentang metodologi penelitian yang canggih, sementara lapangan kehidupan menunjukkan bahwa data empiris tentang penderitaan manusia sering kali lebih nyata daripada teori yang kita paparkan di jurnal-jurnal ilmiah.
Di sini, harga manusia tak lagi diukur dengan akhlak atau ilmu. Tapi dengan tarif sewa, utang yang menumpuk, dan target yang harus dicapai. Tubuh menjadi komoditas, hati dikorbankan demi bertahan hidup. Dan kita, para agamawan, sering kali terlena dalam rutinitas dengan ceramah dan bid’ah yang serba manis, tanpa berani melihat kenyataan pahit yang ada di luar sana.
Namun, jangan salah. Semua ini bukan hanya soal lemahnya iman. Banyak dari mereka yang terperosok hanya karena tak punya pilihan. Ketika sistem gagal memberikan harapan, keputusasaan menjadi jalan yang paling bisa mereka pilih. Apa lagi yang bisa mereka lakukan ketika mereka melihat hanya ada dua pilihan: hidup dengan membohongi diri sendiri, atau mati dengan memilih keputusasaan?
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Mungkin kita bisa mulai dengan satu hal sederhana: memulangkan nurani ke tempat yang semestinya. Bukan lewat razia yang mempermalukan, bukan dengan hukuman yang viral di TikTok, tapi lewat pendekatan yang memanusiakan. Kita butuh sistem yang merangkul, bukan menghakimi. Pendidikan yang membangkitkan kesadaran, bukan sekadar hafalan. Hukum yang melindungi, bukan hanya menghukum.
Dan satu hal lagi yang tak boleh kita lupakan: kita butuh keberanian. Untuk melihat wajah-wajah mereka dengan cinta, bukan cemooh. Untuk mengakui bahwa kita juga bagian dari masalah—dan mungkin, bagian dari solusi.
Karena negeri ini tidak akan pulih hanya dengan menuding siapa yang salah. Negeri ini butuh lebih dari itu. Ia butuh menyembuhkan luka-luka yang ada. Dengan hadir, mendengar, dan memperbaiki.
Banyak masjid yang megah tak akan berarti apa-apa tanpa nurani yang mengisi ruang-ruangnya. Mungkin suatu saat, nurani yang pergi itu akan kembali, pelan-pelan, namun pasti. Karena negeri ini tidak butuh lebih banyak penghakiman. Ia butuh lebih banyak pelukan. Pelukan yang tahu bahwa menjadi manusia itu berat, terutama ketika dunia tak memberi ruang untuk berdiri tegak dengan harga diri. []