Oleh Dr. H. Mohd. Heikal, SE., MM
Tanggal 27 Nopember 2024 akan menjadi hari yang sangat menentukan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung serentak diseluruh Indonesia. Semua akan menentukan akan seperti apa dan bagaimana masyarakat di Aceh dan seluruh kabupaten/kotanya lima tahun akan mendatang.
Pilkada adalah sebuah ikhtiar untuk menentukan pemimpin yang akan menjadi “khadimul ummah” melalui sebuah pemerintahan disetiap tingkatan. Imam Al Mawardi, dalam Al-Ahkam As Sulthaniyyah menyebutnya sebagai Likhilafatin nubuwwah fii harasatid diin wa siassatid dunyaa bahwa konsep kepemimpinan adalah menjadi instrumen penting untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur manusia dalam urusan dunia.
Masalah kepemimpinan sudah lama menjadi pembahasan yang sering dibahas oleh banyak pemikir Islam karena masalah kepemimpinan adalah masalah inti dari kehidupan sosial manusia. Dalam Islam rasul atau utusan Tuhan yang menjadi tokoh sentral dalam membahas mengenai kepemimpinan dalam agama, menempatkan Rasulullah Muhammad SAW sebagai tokoh utama dan menjadi panutan dan contoh teladan dalam memimpin suatu masyarakat baik dari lingkup terkecil sampai ruang lingkup terbesar.
Al-Mawardi telah memaparkan konsep idealnya mengenai Imamah (kepemimpinan) dengan sangat baik. Al-Mawardi telah menjelaskan kriteria ideal untuk seseorang yang diangkat menjadi seorang imam (khalifah) diantaranya harus adil, memiliki pengetahuan yang luas, sehat inderawi, sehat organ tubuh, berwawasan luas, pemberani dan nasab dari Quraisy. Untuk menjadi pemimpin bukanlah orang sembarangan melainkan orang yang memiliki kemampuan. Kemampuan dasar yang wajib dimiliki seorang pemimpin adalah kemampuan untuk menjaga dan mengatur masyarakat agar tetap damai dan menghindari konflik.
Disisi lain, ada pula kriteria yang dikemukakan oleh seorang yang ahli dalam kepemimpinan yang mungkin dapat menjadi tambahan pengetahuan dan referensi kita yaitu apa yang dikemukakan oleh Sheila Mugray Bathel dalam bukunya “Making A Difference”, setidaknya ada tiga belas sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yaitu, “visi dan misi yang jelas, memiliki strategi dan pemikiran yang mampu memikat orang lain, memiliki Etika untuk membangun kepercayaan, mampu menciptakan perubahan untuk masa depan, peka untuk menciptakan loyalitas, berani mengambil resiko, memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan, mampu mengambil keputusan yang bijaksana, mampu berkomunikasi secara efektif, mampu membangun tim, memiliki kemampuan bertindak, memiliki komitmen yang kuat, dan memiliki sifat yang jujur”
Setali tiga uang menurut Ibnu khaldun kriteria yang wajib dipenuhi seorang pemimpin adalah: pertama, memiliki ilmu pengetahuan, kedua adalah mampu berbuat adil, ketiga kriteria seorang pemimpin adalah memiliki kompetensi, dan yang keempat, seorang pemimpin harus sehat jasmani dan rohani. Dalam kitabnya Muqaddimah, Ibnu Khaldun juga menegaskan bahwa kepemimpinan hanya akan ada bilamana terdapat keunggulan dalam diri individu-individu pemimpin. Karena setiap kepemimpinan memiliki tujuan yang sangat penting.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Ibnu Taymiyah dalam kitabnya bahwa setidaknya kepemimpinan memiliki dua tujuan. Tujuan tersebut yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan dalam bidang agama maupun dalam bidang ekonomi dan sosial. Guna tercapainya kemaslahatan di bidang agama, maka dilakukan dengan memperbaiki tata cara kehidupan beragama umat manusia.
Apabila tujuan ini tidak diperhatikan atau bahkan ditinggalkan, maka dapat menimbulkan kerugian yang besar baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan untuk mencapai kemaslahatan ekonomi dan sosial diperoleh melalui pengelolaan keuangan untuk kesejahteraan rakyatnya, serta dengan mejamin ketentraman melalui upaya penegakan syari’at Islam.
Jadi dalam hal kepemimpinan sesorang pemimpin tidak hanya harus tahu akan tujuan dari kepemimpinan itu sendiri, dan tidak hanya itu bahkan bila tujuan itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bukan hanya tidak akan sampai kepada apa yanag akan dituju dan dicita- citakan malah lebih ironi dari itu, sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasul SAW bersabda:
Artinya: “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.
Peringatan Rasulullah 14 abad yang lalu ini dan kemudian kita kenal menjadi sebuah adagium, yang kalau kita belajar ilmu manajemen, maka disebutkan: “the right man in the right place, at the right time”.(orang yang tepat pada tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat).
Sementara itu terkait dengan perilaku seorang pemimpin kepada yang dipimpin, Rasulullah SAW dalam sebuah hadits tentang hal tersebut beliau bersabda: “Sebaik-baik pemimpin adalah orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendo’akan mereka dan mereka juga mendo’akan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin adalah orang-orang yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian”. (Hadits Riwayat Imam Muslim).
Dalam hadits ini terdapat sesuatu yang kausalitas antara pempin dan yang dipimpin. Sehingga dalam perspektif yang lain hubungan ini juga pernah disampaikan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah bahwa: “Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin, dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun jika rakyat berbuat dhalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat dhalim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka.”
Kondisi Rakyat
Ibnu al-Azrâq mengatakan, “Sudah menjadi keharusan bagi setiap masyarakat untuk selalu mencatat bahwa kekejaman para pemimpin dan pejabat disebabkan oleh tindakan dan perbuatan rakyat yang jauh dari jalan kebenaran, sebagaimana kandungan kaidah, “Sebagaimana keadaan kalian, begitulah penguasa kalian.” Dengan kaidah ini pula Ibnu al-Jazzâr as-Sirqisthi mejawab pertanyaan al-Musta’in bin Hud mengenai perihal keluhan rakyatnya dengan puisinya :
Kalian nisbatkan kezhaliman kepada para penguasa kalian
Sementara kalian tertidur (lupa) terhadap buruknya perbuatan kalian
Janganlah kalian nisbatkan kezhaliman kepada para penguasa kalian
Karena penguasa kalian akibat dari perbuatan kalian
Demi Allâh, seandainya kalian berkuasa walau sejenak
Tidak akan terbetik dalam benak kalian untuk berlaku adil
Maka kondisi tersebut tidak akan terjadi bilamana kita sebagai rakyat mau melakukan introspeksi diri secara total atas apa yang selama ini mungkin kita lakukan sehingga kemudian secara kolektif kita sadar untuk melakukan perubahan, karena mengubah penguasa harus dimulai dari perubahan atas diri kita selaku rakyat secara akhlaq dan muamalah, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surah Ar-Ra’du ayat 11:
Artinya:…”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum, sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri”.
Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa apa yang terjadi dalam masyarakat sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh tindakan dan apa yang dilakukan oleh individu di dalamnya. Jika rakyat mengubah sikap dan perilaku mereka, maka perubahan tersebut akan terlihat atas para pemimpin mereka, dimana pemimpin yang baik merupakan wujud nyata dari masyarakat yang baik.
Syekh Muhammad Abduh yang merupakan seorang ulama reformis dari Mesir, juga pernah mengemukakan pandangan yang sama. Beliau berpendapat bahwa perubahan sosial dan politik bergantung pada kesadaran dan tindakan masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang mereka sendiri tidak pernah secara aktif memperjuangkan kebaikan maka secara linear akan menciptakan pemimpin yang tidak berkomitmen pada nilai-nilai tersebut.
Akan halnya Pemimpin adalah cerminan dari yang dipimpin, Saiyyidina Ali Bin Abi Thalib saat menjadi khalifah, beliau pernah ditanya soal kondisi kepemimpinannya oleh seorang khawarij pergi bertemu dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, kemudian berkata, “Wahai Khalifah, mengapa pada masa pemerintahanmu engkau banyak dikritik oleh orang-orang yang tidak seperti orang-orang yang ada pada masa kepemimpinan khalifah Abu Bakar dan Umar?”. Kemudian Ali bin Abi Thalib menjawab, “Ini dikarenakan pada zaman Abu Bakar dan Umar yang menjadi rakyat adalah aku dan orang-orang yang semisalku. Sedangkan rakyatku adalah engkau dan orang-orang yang semisalmu! (Syarah Riyadhus Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin) [2]
Dari kisah ini, telah memberikan pelajaran penting kepada kita tentang hubungan antara kualitas rakyat dan kualitas kepemimpinan. Dalam kisah tersebut, Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengingatkan bahwa perbedaan antara pemerintahannya dengan pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma bukan semata-mata disebabkan oleh perbedaan kualitas pemimpin, tetapi juga karena perbedaan kualitas rakyat yang dipimpin.
Mari kita gunakan mata hati seraya memohon kepada Allah agar diberikan kepada kita pemimpin sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW. Jangan juga lupa bahwa pemimpin adalah cerminan dari yang dipimpin. Wallahu a’lam bisshawab.
Khatib Direktur Pengembangan Usaha – Universitas Malikussaleh Lhokseumawe dan Dosen Program Studi Manajemen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis.