LBH Banda Aceh dan Lima Lembaga Kawal Praperadilan Kasus David Yuliansyah dan Mahasiswa Demonstran

WARTAGEMA.COM, Banda Aceh – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh bersama lima organisasi masyarakat sipil lainnya mengawal proses praperadilan atas dua kasus yang dinilai penuh kejanggalan: penangkapan dan kematian David Yuliansyah oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh serta penetapan tersangka terhadap empat mahasiswa demonstran oleh Polresta Banda Aceh.

Direktur LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, menyatakan sidang praperadilan akan berlangsung selama tujuh hari berturut-turut di Pengadilan Negeri Banda Aceh, dimulai Senin, 10 Februari 2025, pukul 09.00 WIB.

Kasus pertama yang diajukan dalam praperadilan menyangkut penangkapan David Yuliansyah oleh BNNP Aceh pada 7 Desember 2022. Saat itu, ia ditangkap bersama tiga orang lainnya atas dugaan kepemilikan narkotika. Keluarga baru mengetahui penangkapan tersebut keesokan harinya setelah diminta membawa kartu BPJS David. Belakangan diketahui, David sempat dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Banda Aceh dalam kondisi kritis.

Dua hari setelah penangkapan, keluarga yang mendatangi kantor BNNP Aceh menemukan David dalam keadaan lemah dengan luka lebam di sekujur tubuhnya. Ia kemudian dipindahkan ke Rehabilitasi NAPZA di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh. Sehari berselang, 10 Desember 2022, pihak RSJ mengabarkan bahwa David telah meninggal dunia. Dugaan penyiksaan pun mencuat, mendorong keluarga untuk melaporkan kasus ini ke Polda Aceh.

LBH Banda Aceh mengajukan permohonan ekshumasi dan autopsi guna mengungkap penyebab kematian David. Autopsi akhirnya dilakukan pada 4 Januari 2023, setelah 19 hari menunggu persetujuan. Namun, pada 22 Februari 2023, penyidik Polda Aceh menyimpulkan bahwa David meninggal akibat penyakit lambung, sementara luka lebam di tubuhnya disebut sebagai akibat tindakan membenturkan diri sendiri. Penyelidikan pun dihentikan pada 7 Maret 2023 dengan alasan tidak cukup bukti.

“Kami menilai penghentian penyelidikan ini mengabaikan keadilan dan tidak menunjukkan itikad baik dalam mengungkap kebenaran, terutama dugaan keterlibatan aparat dalam kasus ini. Oleh karena itu, kami mengajukan praperadilan untuk membuktikan bahwa penangkapan David Yuliansyah tidak sah secara hukum,” ujar Aulianda.

Penangkapan  Cacat Prosedur

Kasus kedua yang diajukan dalam praperadilan adalah penetapan tersangka terhadap empat mahasiswa demonstran yang ditangkap saat aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRA pada 29 Agustus 2024. Aksi yang berlangsung sekitar 40 menit itu dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian. Sebanyak 16 mahasiswa ditangkap dan dibawa ke Mapolresta Banda Aceh.

Di Mapolresta, mereka diduga mengalami intimidasi, kekerasan, serta penyitaan barang pribadi. Mereka juga tidak diberikan akses pendampingan hukum. Sehari setelah penangkapan, Kapolresta Banda Aceh mengumumkan enam mahasiswa sebagai tersangka atas dugaan ujaran kebencian karena membentangkan spanduk bertuliskan “Polisi Pembunuh” dan “Polisi Biadab”. Empat dari mereka adalah bagian dari kelompok yang ditangkap, sementara dua lainnya tidak termasuk dalam 16 orang yang diamankan sebelumnya.

LBH Banda Aceh menilai penetapan tersangka ini menyalahi prosedur hukum. “Pasal 156 dan 157 KUHP yang digunakan dalam perkara ini tidak tepat. Ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat,” kata Aulianda.

Permohonan praperadilan untuk dua kasus ini telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 31 Januari 2025. Kasus David Yuliansyah terdaftar dengan perkara Nomor: 1/Pid.Pra/2025/PN Bna, sedangkan kasus mahasiswa demonstran dengan perkara Nomor: 2/Pid.Pra/2025/PN Bna.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang turut mengawal jalannya proses ini antara lain ACSTF, AJI Banda Aceh, Katahati Institute, Koalisi NGO HAM, KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, dan MaTA.

“Kami mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam mengawal proses praperadilan ini. Kami berharap upaya ini bisa menjadi titik terang dalam mencari keadilan bagi korban dan mendorong reformasi di institusi kepolisian serta sistem penegakan hukum di Aceh,” tutup Aulianda. [M]

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *